Sementara, Radin Muhammad Ali syahid ditembak tahun 1905 Masehi. Beliau ditembak bertubi-tubi oleh para Marsose sampai akhirnya roboh.
Namun, sampai detik-detik kematiannya dia tidak menyerah dan terus bertakbir. Setelah syahid, jasad Muhammad Ali dimutilasi penjajah melalui tangan para pengkhianat yang menjadi tangan kanan kolonial.
Jasad Muhammad Ali yang tidak sempurna kemudian disholatkan oleh para alim ulama di kawasan Slipi dan sekitarnya untuk kemudian dimakamkan di daerah Bandengan. Para ulama dan sesepuh yang berada di daerah Jipang Pulorogo (Slipi, Palmerah, Rawa Belong, Kemandoran dan sekitarnya) sangat berduka dengan kematian salah satu pejuang terbaik mereka.
Pitung adalah fakta sejarah, kisah mereka tercatat dalam kitab Al Fatawi. Kisah mereka adalah kisah perlawanan bangsa Indonesia yang tertindas oleh penjajah dan antek-anteknya.
Mereka adalah pejuang sejati. Mereka bukan Perampok, mereka orang-orang terpelajar dan juga mengerti tentang dunia politik yang diterapkan penjajah.
Kisah mereka tentu tidak akan pernah sesuai dengan kisah yang berasal dari penjajah, baik itu melalui koran mereka ataupun para sejarawan kolonialis yang memang bekerja untuk kepentingan penjajah.
Penjajah pada masa itu dengan politik devide et imperanya bahkan berusaha untuk menciptakan Pitung-Pitung palsu untuk memancing Pitung-Pitung asli keluar dari persembunyiannya. Bahkan saat syahidnya Radin Muhammad Ali, salah satu pihak yang menjebaknya mengaku sebagai Pitung asli.
Jasadnya sengaja dimutilasi agar masyarakat kehilangan jejak sejarahnya dan juga tidak bisa lagi menziarahi makamnya. Namun sekalipun jasadnya terpencar kisah kepahlawanan pejuang tangguh ini tidak akan pernah hilang dari tanah Jakarta ini.
Semua anggota Pitung diajarkan ilmu beladiri dan juga ilmu-ilmu agama seperti Tafsir, Fiqih, Hadist, Tassawuf, Ilmu Alat dan juga pengetahuan tentang strategi-strategi perlawanan. Mereka juga melek terhadap dunia politik yang berkembang pada masa itu, sehingga karena lengkapnya pengetahuan mereka, penjajah menghabisi gerakan ini sampai ke akar-akarnya.
**
(Oleh: Iwan Mahmoed Al Fattah)
Disarikan dari KITAB AL FATAWI yang dtulis ulang dari tulisan lama ke dalam Bahasa Arab Melayu oleh Al Allamah Asy-Syekh KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i (Kumpi Syari/Babe Betawi) atas perintah Guru Mansur Sawah Lio tahun 1910 Masehi di Jakarta.