Telanjur Banyak Proyek dengan Rusia
Sementara itu, menurut Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta dan anggota Masyarakat Indonesia Peminat Kajian Timur Tengah (ISMES), Achmad Ubaedillah, negara Arab masih membisu soal invasi di Ukraina karena menjaga hubungan dengan Rusia.
“Mereka enggak enak dengan Rusia. Banyak proyek negara-negara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dengan Rusia,” kata Ubaedillah dikutip CNNIndonesia.com. Rabu (16/3).
Menurutnya, secara historis hubungan Saudi dengan Rusia terbilang cukup lama. Mereka saling tenggang rasa.
“Apalagi sekarang, saat hubungan Saudi-AS enggak begitu mesra, seperti era Trump,” lanjut Ubaedillah.
Hubungan AS-Saudi yang Merenggang
Ia menilai hubungan AS dan Saudi merenggang karena Riyadh kecewa pemerintahan Biden kerap mengungkit masalah yang menyangkut hak asasi manusia.
Salah satunya, pembunuhan jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi pada 2018 lalu. Pembunuhan terhadap jurnalis ini disebut melibatkan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MbS).
Kerenggangan Riyadh-Washington semakin terasa saat Presiden Amerika Serikat menelepon MbS pekan lalu, namun tak ada jawaban. Ia juga menghubungi pemimpin UEA, Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan, hasilnya sama, nihil respons.
Biden saat itu berharap obrolan bisa panjang mengenai produksi minyak dari dua negara ini, menyusul kekhawatiran lonjakan harga minyak bagi warga AS imbas sanksi yang dijatuhkan ke Rusia.
Sikap pemimpin Saudi dan UEA yang tak mengangkat telepon Biden disebut karena mereka tak mau pandangan sekecil apa pun dijadikan amunisi Amerika Serikat untuk memojokkan Rusia, demikian menurut Rezasyah.
Sikap ‘penolakan’ Saudi bukan kali pertama. Pada awal Februari lalu, pejabat Saudi juga menolak seruan untuk memompa lebih banyak minyak.
Menurut laporan The Guardian, mereka mengatakan akan tetap berpegang pada perjanjian produksi yang sudah disepakati Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang salah satu anggotanya adalah Rusia.
Pelarangan impor minyak dari Rusia membuat harga minyak mencapai US$130 atau sekitar Rp1,8 juta per barel.
Secara ekonomi, lanjut Ubaedillah, perang Rusia-Ukraina berdampak pada lonjakan harga minyak. Hal ini, menguntungkan negara-negara produsen minyak seperti Saudi.
Meski demikian, negara-negara Arab, katanya tak akan mengecam atau menyudutkan Rusia dalam waktu dekat menyoal krisis di Ukraina.