Orang Quraisy kafir, yang terkejut dengan reaksi dan keberaniannya, tidak menjawab apa-apa. Fatimah terus membela ayahnya saat diserang dan menghadapi penghinaan dan luka di tangan orang Quraisy di Makkah. Pembelaannya terhadap Rasulullah membawa hati kedua manusia ini semakin dekat.
“Berapa banyak dari kita, sebagai orang dewasa, yang menunjukkan rasa hormat seperti ini kepada ayah kita? Dari kekuatan dan kesetiaan Fatimah, kita bisa belajar apa artinya menjadi anak yang hebat dan mulia,” ucap Theresa Corbin, seorang kontributor tetap untuk AboutIslam.net dan majalah Al Jumuah.
Penulis yang berfokus pada tema konversi ke Islam (mualaf), Islamofobia, isu-isu perempuan dan menjembatani kesenjangan antara orang-orang dari agama dan budaya yang berbeda ini menyebut, setiap orang tidak harus berada dalam keadaan yang luar biasa untuk menjadi anak yang luar biasa bagi orang tua. Yang dibutuhkan hanyalah kesetiaan dan rasa hormat.
Mengutip pernyataan Zainab bin Younus, seorang cendekiawan Muslim asal Kanada, dalam kehidupan sering kali terdapat kesalahpahaman. Seorang hanya digambarkan sebagai pencari nafkah, pendukung rumah tangga.
Peran ayah kerap disandingkan sebagai penyedia keuangan daripada pengasuh. Sementara itu, tugas untuk membesarkan anak-anak menjadi milik ibu, yang juga mengajari putrinya apa artinya menjadi seorang gadis dan seorang wanita.
Corbin menyebut kesalahpahaman ini merugikan masyarakat. Ayah juga memiliki peran pengasuhan yang penting dalam kehidupan anak perempuan mereka. Hal ini bisa dilihat secara sekilas dalam hubungan Nabi Muhammad SAW dan anak kelimanya dengan Khadijah ra.
Nabi SAW memiliki tempat khusus di hatinya untuk Fatimah. Aisha ra menyebut, “…Ketika Nabi melihatnya (Fatimah) mendekat, dia akan menyambutnya, berdiri dan menciumnya, memegang tangannya dan mendudukkannya di tempat dia duduk.”