JAKARTA- Dirut Pertamina Nicke Widyawati belum lama ini, menyatakan jika subsidi harga Petrol 95 (oktan 95) di Malaysia jauh lebih besar dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite (oktan 90) yang ada di Indonesia. Pengamat kebijakan publik, Bambang Haryo Soekartono menganggap, pernyataan itu tidak benar dan berdasar.
Dia pun meninjau langsung stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Malaysia. Hasilnya, ternyata harga Petrol 95 yang oktannya setara dengan Pertamax Plus harganya hanya 2,05 ringgit.
“Saya melakukan cek langsung ke Malaysia ternyata harga petrol 95 yang oktannya setara dengan pertamax plus sebesar 2,05 ringgit dengan kurs Rp 3.339 atau setara dengan Rp6.844, subsidi dari petrol 95 di Malaysia sebesar 0,45 ringgit atau setara dengan Rp1.502. Sehingga harga tanpa subsidi di Malaysia sebesar 2,5 ringgit atau setara dengan Rp8.347 rupiah,” Kata Bambang Haryo yang juga Ketua Harian MTI Jawa Timur.
Diungkapkan Anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini, harga pertalite yang dikatakan Pertamina per juli 2022 bila tanpa subsidi adalah sebesar Rp17.200/liter dan pertamina mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk pertalite sebesar Rp9.550/liter agar masyarakat bisa membeli dengan harga sebesar Rp7.650 rupiah/liter yang masih jauh lebih mahal dari harga petrol 95 di Malaysia, sehingga jelas subsidi di Malaysia jauh lebih kecil dari pada subsidi BBM yang ada di Indonesia.
Berarti, kata Mantan Wakil Sekjen MTI Pusat ini, bila pernyataan di media itu benar, maka Dirut Pertamina telah melakukan pembohongan publik, lantaran memberikan pernyataan tanpa melakukan kajian dengan teliti.
“Demikian pula pertalite hanya memiliki oktan 90 sedangkan petrol 95 memiliki oktan 95 sehingga perbedaan petrol 95 dengan pertalite ada 5 oktan, padahal penurunan per 1 oktan rupiahnya sangat besar. Misalnya di Malaysia petrol 97 yang mempunyai oktan 97 harga tanpa subsidi adalah 4,55 ringgit atau setara dengan 15.192 rupiah, sedangkan petrol 95 yang mempunyai oktan 95 tanpa subsidi adalah 2,5 ringgit atau setara dengan 8.347 rupiah. Sehingga beda 2 oktan saja sebesar 2,05 ringgit atau setara dengan 6.844 rupiah, berapa tuh rupiahnya kalau perbedaannya 5 oktan? Tentu sangat besar,“ ungkap Alumnus ITS Surabaya Ini.
Alumnus ITS Surabaya itu melanjutkan, Pertalite mendapatkan subsidi dari pemerintah (Kementerian ESDM) sebesar Rp 9.550/liter, bila dengan harga yang sebenarnya sesuai dengan perhitungan yang ada di Malaysia dengan subsidi uang rakyat tersebut maka seharusnya rakyat membeli bahan bakar pertalite jauh lebih murah atau bahkan gratis.
Bambang juga menemukan kejadian menarik selama di Malaysia yaitu, harga produk dari shell company yaitu shell v power oktan 95 sama dengan harga petrol 95 sebesar 2,05 ringgit atau setara dengan 6.844 rupiah, bila tanpa subsidi dari pemerintah shell di Malaysia menjual dengan harga sebesar 2,5 ringgit atau setara dengan 8.347 rupiah, tetapi harga shell di Indonesia untuk shell oktan 95 yaitu shell v power oktan 95 adalah sebesar 18.300 rupiah yang jauh lebih mahal dari shell v power petrol 95 yang dijual di Malaysia.
“Dengan demikian, apakah bisa dikatakan Shell di Indonesia berkonspirasi / kartelisasi dengan Pertamina? tentu itu sangat merugikan masyarakat apalagi harga tersebut juga ditetapkan oleh Kementerian ESDM KEPMEN No. 62 K/12/MEM/2020. Sehingga apakah Kementerian ESDM ikut terlibat?,” imbuh Bambang.
“Diharapkan Kementerian ESDM segera merevisi tarif BBM pertalite serta subsidinya yang dengan uang rakyat, disesuaikan dengan harga yang sebenarnya, agar masyarakat tidak dirugikan secara terus menerus,” tandasnya.(*)