Media Sosial dan Kampanye LGBT Picu Ledakan Transgender Anak di Barat

  • Bagikan
Media Sosial dan Kampanye LGBT Picu Ledakan Transgender Anak di Barat. (Foto ilustrasi: shutterstock)

Sementara studi yang dilakukan Cechilia Dhejne dkk di Swedia menunjukkan bahwa prosedur pergantian kelamin secara signifikan meningkatkan risiko kematian, tindakan bunuh diri, hingga morbiditas psikiatri. 

Sejauh ini, obat penghambat pubertas dan juga suntikan hormon belum mendapatkan persetujuan Administrasi Obat-obatan dan Makanan AS (FDA) untuk layanan gender anak.

Pada 2016, FDA mewajibkan produsen penghambat pubertas untuk menyertakan peringatan terkait masalah psikiatrik. Hal ini setelah lembaga itu menerima laporan soal tendensi bunuh diri pada anak-anak yang diberi obat itu. 

Belum ada juga studi soal berapa banyak anak/remaja yang tetap merasa puas dengan keputusan perubahan gender. Hal ini signifikan karena sejumlah pegiat layanan gender sendiri menilai banyak kasus keinginan mengubah gender pada anak-anak sebenarnya hanya sementara saja. 

Seiring penelaahan lanjutan, banyak aduan disforia gender ternyata berasal dari gangguan psikologis lainnya. Diantaranya tren gender cair yang masih bisa berubah-ubah serta masalah mental lainnya yang dipicu trauma tertentu.

BACA JUGA :  Ilmuwan: Kebanyakan Orang Mengatakan Dua Kebohongan Setiap Hari

“Saya khawatir kami memberikan diagnosis palsu dan menjerumuskan anak-anak ini pada perubahan fisik yang tak bisa dibalik lagi,” ujar Erica Anderson, seorang psikolog klinis yang sempat bekerja di klinik gender Universitas Kalifornia.

Sedangkan the New York Times mengutip Laura Edwards-Leeper, seorang psikolog klinis di Oregon, terdapat tingkat tinggi kasus kesehatan mental seperti autisme dan ADHD pada anak/remaja yang menginginkan perubahan gender belakangan.

Apa kemudian yang menyebabkan lonjakan tersebut? The Guardian mengutip Celo Madeleine, juru bicara grup dukungan transgender, bahwa maraknya ekspose terhadap fenomena itu jadi salah satu pendukung. Normalisasi perilaku homoseksual dan perubahan gender dan identitas gender alternatif lainnya punya peran mendorong anak-anak.

Seorang ibu dari anak transgender di London mengamini bahwa media sosial juga berperan.

BACA JUGA :  522 Warga Kabupaten Tangerang Idap HIV/AIDS, Terbanyak Pria Usia Produktif

“Hal itu didiskusikan jauh lebih terbuka dan lebih banyak sekarang sehingga seperti bukan lagi menjadi tabu,” ujarnya pada the Guardian.

Melalui artikel di Yaqeen Institute, Dr Carl Sharif El-Tobgui yang menyoroti LGBT dalam pandangan Islam menekankan bahwa serbuan kampanye LGBT lewat media turut berperan membentuk kondisi terkini. Ia menyoroti, pada 2010 hanya ada sekitar 10 buku untuk anak dan remaja yang berisi karakter gay. Pada 2016, jumlah itu melonjak menjadi 80 buku.

Sementara lembaga pro-LGBT GLAAD mencatat bahwa dari 118 film rumah produksi terkemuka sejak 2019, sebanyak 18,6 persen mengandung karakter LGBT.

Ledakan representasi karakter LGBT di budaya populer itu mulai terjadi sejak 2010. Sejumlah perpustakaan umum dan sekolah di Amerika Serikat juga belakangan mengadakan pembacaan cerita oleh penampil “drag queen”. Penampil ini biasanya pria dengan dandanan perempuan yang berlebihan.

BACA JUGA :  Kritik Keras Pasal Perzinaan di KUHP Baru, Dubes AS Minta Indonesia Hormati Sesama Termasuk LGBTQ

Menghadapi fenomena itu, Dr El-Tobgui menekankan perlunya menanamkan norma-norma Islam di keluarga Muslim. Selain itu, umat Islam perlu menjauhkan diri dari perangkap sempit identitas seksual.

“Perlu dicatat bahwa Islam tak mengkategorisasikan manusia berdasarkan syahwat seksualnya,” ujarnya. Adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang dikenai hukuman haram dan halal.

Menurut Dr El-Tobgui, perasaan suka sesama jenis atau disforia gender adalah kenyataan yang tak bisa dipadamkan begitu saja, apalagi dengan kekerasan. Penting memberikan pendampingan emosional dan spiritual bagi mereka-mereka yang menunjukkan kecenderungan tersebut. Menurutnya, mereka-mereka yang memiliki kecenderungan tersebut namun menahan diri dari menunjukkannya, tak mengkampanyekannya, dan terutama menolak menuruti syahwat dengan melanggar aturan agama, harus dipandang sebagai pihak-pihak yang tengah melakukan jihad.

(Sumber: REUTERS)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights