JAKARTA – Siapa yang tidak tahu lembaga pengumpul dana masyarakat bernama Aksi Cepat Tanggap disingkat ACT yang iklannya tersebar di mana-mana.
ACT merupakan salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia, bahkan sesuai data, lembaga ini mampu meraup donasi sebanyak Rp 500 miliar dalam kurun waktu antara 2018 hingga 2020.
Sementara sebagai pembanding, lembaga lain seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat mengumpulkan dana sebesar Rp 375 miliar dan Rp 224 miliar.
Dana ratusan miliar tersebut digunakan untuk berbagai program. Mulai dari membantu korban bencana alam hingga pembangunan sekolah, atau pun tempat ibadah.
Akan tetapi pengelolaan dana ratusan miliar tersebut juga diduga bermasalah. Mantan Presiden ACT, Ahyudin, disebut terseret dalam masalah penyelewengan dana masyarakat tersebut.
Dugaan penyelewangan dana oleh pendiri sekaligus pimpinan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap Ahyuddin yang mengundurkan diri pada Januari lalu itu muncul dalam berita investigasi di salah satu majalah nasional bertajuk “Kantong Bocor Dana Umat”
Menurut laporan berjudul “Aksi Cepat Tanggap Cuan”. Ahyudin diduga menggunakan dana lembaganya untuk kepentingan pribadi. Mulai dari membeli rumah dan perabotannya hingga transfer bernilai belasan miliar.
Berikut fakta-fakta berapa milyar yang diduga diselewengkan di ACT dilansir dari Majalah Tempo
1. Potongan 23 Persen
Sejumlah pendiri komunitas Surau Sydney Australia menyatakan dari dana Rp 3,018 miliar yang terkumpul, mereka hanya mendapatkan Rp 2,311 miliar. Artinya, ada potongan sekitar 23 persen dari total donasi.
“Pemotongan donasi ini terlalu besar,” ujar Meilanie Buitenzorgy, keluarga salah satu pendiri surau tersebut.
2. Gaji Rp 250 Juta
Pemborosan duit lembaga juga disebut terjadi di ACT. Ahyudin memberikan dirinya gaji jumbo yang mencapai Rp 250 juta.
Selain itu, berbagai fasilitas mewah, kendaraan mulai dari Toyota Alphard, Mitsubishi Pajero Sport hingga Honda CRV.
Ahyudin juga disebut menggunakan dana masyarakat tersebut untuk membeli rumah dan perabotan dengan nilai yang fantastis.
3. Sebagai Perusahaan Pengumpul Donasi
Presiden ACT saat ini, Ibnu Khajar mengungkap bahwa perusahaan yang dipimpinnya ini memang menggunakan uang donasi dari masyarakat, namun hanya 13,5% untuk operasional perusahaan dan keperluan esensial lainnya.
Bahkan, Ibnu juga menyebut bahwa ACT merupakan sebuah wadah yang menampung uang donasi, bukan sebagai lembaga zakat murni.
4. Pemotongan Terlalu Besar
Peneliti filantropi, Hamid Abidin menilai pemotongan itu terlalu besar. la mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan yang menyebutkan potongan maksimal untuk donasi sosial hanya 10 persen. Sedangkan zakat, infak, dan sedekah maksimal 12,5 persen.
“Potongan untuk biaya operasional dan lain-lain sudah termasuk di dalamnya,” ujar Hamid.
Menurut dia, lembaga filantropi seharusnya jujur dan menyampaikan sejak awal potongan donasi yang diterapkan ihwal gonjang-ganjing dugaan penyelewengan di ACT.
Dengan begitu, donatur bisa mengetahui dan memilih kepada siapa donasi disalurkan