JAKARTA – Tenaga Ahli Dewan Pers, khususnya bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak H. Kamsul Hasan sampaikan pengalamannya sebagai ombudsman perusahaan pers ketika redaksi mendapatkan surat hak jawab atau hak koreksi atau somasi, Sabtu (12/11/22).
“Ini cerita saya sebagai ombudsman perusahaan pers, yang biasanya diajak konsultasi ketika redaksi mendapatkan surat hak jawab atau hak koreksi atau somasi,” kata Kamsul.
Ia berpendapat untuk menanggapi surat tersebut hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa legal standing sebagai syarat formil penyampaian hak jawab.
“Biasanya yang pertama saya lakukan adalah memeriksa apakah pengirimnya memiliki legal standing cukup sebagai syarat formil penyampaian hak jawab,” tutur H. Kamsul Hasan.
Sarjana Hukum dan Magister Hukum dari STIH Iblam Jakarta ini mengatakan jika syarat formil tidak terpenuhi ia menyarankan surat hak jawab atau hak koreksi atau somasi ditolak dan tak perlu dilayani.
“Apabila syarat formil tidak terpenuhi saya sarankan ditolak saja, tidak perlu dilayani. Artinya kita siap menghadapinya baik mediasi di Dewan Pers atau ke ranah hukum,” imbuhnya.
Namun jika persyaratan formil terpenuhi, maka selanjutnya untuk di lihat materil yang dimasalahkan. Apakah benar terjadi pelanggaran dan apa yang dilanggar?
“Biasanya di sini terjadi perbedaan pendapat,” kata H. Kamsul.
Ombudsman salah satu media ini mengatakan hal serupa mungkin terjadi juga pada perusahaan pers lain. Pemberitaan tidak berimbang karena media Siber memanfaatkan butir 2 Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) Dewan Pers.
Pada intinya karena perusahaan pers Siber memerlukan kecepatan. Sehingga keberimbangan tidak hadir dalam satu frame pemberian seperti pada era cetak.
“Saat itu pihak sumber yang dirugikan tetap kekeuh tidak mengakui adanya PPMS. Mereka tetap ingin Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ diterapkan dalam pemberitaan. Itu artinya versi online atau cetak sama saja, harus memberitakan secara berimbang dan menguji informasi. Alasannya karena KEJ masih berlaku dan belum direvisi,” ungkapnya.
Ketua Bidang Komisi Kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menambahkan saat itu sumber yang dirugikan mengatakan wartawan harus memiliki dan mematuhi KEJ sesuai Pasal 7 ayat (2) UU Pers. PPMS bukan perintah undang-undang sekedar pedoman.
“Ini baru pada era digital karena KEJ masih berorientasi pada media cetak yang deadline panjang. Sementara PPMS dinilai berlaku internal sebagai pedoman,” terang H. Kamsul yang merupakan sarjana jurnalistik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.
H. Kamsul menegaskan agar Redaksi tidak perlu takut dengan somasi dan permintaan pencabutan konten, sepanjang tidak melanggar butir 5 PPMS.
“Jadi jelas dalam buti 5 PPMS konten atau berita yang boleh dicabut karena, SARA, Kesusilaan dalam bahasa Pasal 5 KEJ, korban kesusilaan, masa depan anak dalam bahasa lain sesuai PPRA Dewan Pers adalah anak berhadapan dengan hukum baik Sebagai pelaku tindak pidana, Korban tindak pidana dan Saksi tindak pidana,” tutur H. Kamsul Hasan.