Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan, terdapat beberapa risiko yang harus diwaspadai pemerintah terkait ancaman resesi AS.
Pertama, keluarnya modal asing di pasar surat utang domestik. Ini karena akan ada penyesuaian tingkat imbal hasil (yield) US Treasury dengan kenaikan suku bunga The Fed. Penyesuaian akan membuat spread antara yield US Treasury dan yield Surat Berharga Negara (SBN) di tenor yang sama semakin menyempit.
“Investor asing cenderung mengalihkan dana ke aset yang aman, memicu capital outflow di emerging market. Pelemahan nilai tukar rupiah hanya salah satu dampak turunan dari sinyal resesi AS,” tuturnya, Senin (20/6).
Kedua, likuiditas di pasar akan semakin menyempit akibat terjadinya perebutan dana antara pemerintah dan perbankan. Di satu sisi, perbankan membutuhkan likuiditas untuk mengejar pertumbuhan kredit yang sempat melandai di tengah pandemi Covid-19.
Menurut Bhima, pemerintah harus turut menjaga tingkat pembiayaan untuk mengembalikan defisit di bawah 3%, sehingga akan memicu dana deposan domestik berpindah ke SBN. Ia mengingatkan crowding out juga sangat membahayakan kondisi likuiditas disektor keuangan.
Ketiga, kenaikan suku bunga The Fed rentan diikuti kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Sementara itu, tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan suku bunga pinjaman.
“Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya,” kata Bhima.
Keempat, dikhawatirkan akan terjadi imported inflation sebagai akibat membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Situasi ini, menurut Bhima, dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
“Indeks dollar mengalami kenaikan 8,7% secara year-to-date menjadi ke level 104,6. Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan baku nya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur,” imbuh Bhima.(*)