Indonesia Berpeluang Menjadi Mediator Ukraina dan Rusia

  • Bagikan
Rakyat Ukraina menolak perang (Poto:AFP)

JAKARTA – Pemerintah Indonesia bisa menjadi mediator perdamaian antara Ukrania dan Rusia jika negosiasi damai antara dua negara itu alami jalan buntu.

Hal itu disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto.

“Kecuali bila nanti mengalami deadlock baru mungkin ada peluang [sebagai mediator damai],” kata Hikmahanto mengutip CNN, Selasa (1/3).

Hikamahanto menilai saat ini Indonesia tidak dalam posisi kuat menjadi mediator antara Rusia dan Ukraina. Pasalnya, kedua negara itu sama-sama memiliki tempat tersendiri yang disetujui sebagai tempat berjalannya negosiasi tersebut.

“Peluang Indonesia itu tetap ada, kalau deadlock. Itu pun kalau disetujui oleh kedua negara,” kata dia.

Ia  memprediksi negosiasi damai antara kedua negara akan sulit terwujud bila Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky belum menyatakan mundur.

“Namun saat ini Rusia telah menyerang Ibu Kota Ukraina, Kiev dengan tujuan utama Presiden Zalensky akan meyerahkan diri atau ditangkap. Modus ini mirip dengan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam upaya menurunkan Saddam Hussein sebagai Presiden Irak,” kata Hikmahanto

BACA JUGA :  Kelompok Hacker Nyatakan Perang Siber Skala Besar Terhadap Putin

Hikmahanto menduga Rusia akan terus menyerang Ukrania hingga Zelensky menyatakan mundur dan diganti dengan presiden yang lebih pro terhadap Rusia.

Hal senada diucapkan oleh pengamat Internasional dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Achmad Ubaedillah menilai Indonesia berpeluang menjadi mediator bahkan menjadi tempat negosiasi damai antara Rusia dan Ukraina.

“Sebagai negara non-blok Indonesia dapat berperan sebagai mediator antara Rusia dan Ukrania. [Di Indonesia] Itu lebih baik. Tapi tergantung kesepakatan dua negara yg tengah sengketa. Jika tidak di Jakarta, bisa di cari negara ketiga yang bersedia dijadikan host-nya,” kata Achmad.

Achmad menilai kedekatan dengan Rusia membuka peluang Indonesia menjadi penengah konflik tersebut. Bahkan saat ini jadi momentum tepat bagi Indonesia karena sebagai presidensi negara-negara yang tergabung dalam G-20.

“Ini momentum sangat baik bagi Indonesia untuk berperan aktif sebagai mediator antara negara yang tengah berperang. Jangan sampai kehilangan momentum,” kata Achmad.

BACA JUGA :  Sekjen Gerindra Dorong Prabowo Kembali Ikut Kontestasi Pilpres 2024

Achmad mengusulkan pemerintah RI menawarkan diri dan melakukan pendekatan kepada Rusia dan Ukrania. Terlebih lagi saat ini status Indonesia sebagai presidensi G-20 punya peluang besar berperan ambil posisi mendamaikan perang.

Namun, Ia memberi catatan negosiasi damai antara Rusia dan Ukraina kini kemungkinan besar menjadi ‘panggunggnya’ negara eropa atau Eropa timur. Sebab, lokasi mereka berdekatan dengan area konflik dan ada kesepakatan internasional.

“Tapi peran penengah RI di konflik politik Afghanistan saja dapat pula dilakukan dalam konflik Rusia dan Ukrania,” kata dia.

Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah juga menilai ada beberapa faktor pendukung Indonesia jadi mediator damai antara Rusia dan Ukraina.

Faktor pertama, Reza menilai RI memiliki kebijakan netral dan mengedepankan dialog dalam konteks Hukum Internasional.

“Memuliakan umat manusia, dan ditulis tanpa memojokkan siapapun,” kata Reza.

Alasan kedua, Reza menganggap RI memiliki kredibilitas tinggi dan sudah teruji dalam menjaga ketertiban dan perdamaian dunia.

BACA JUGA :  Bamsoet Resmi Lantik Yandri Sebagai Waketu MPR Gantikan Zulkifli Hasan

Reza juga menilai penyelesaian krisis yang diajukan RI biasanya mudah disepakati oleh pihak Gerakan Non-Blok, OKI, dan negara-negara yang ingin menarik manfaat Internasional dari perdamaian yang direncanakan di bawah payung PBB.

“Dengan demikian, peluang RI ada. Namun hendaknya RI tidak berbusung dada. Sangatlah sulit menjadikan RI sebagai lokasi dialog, karena letaknya yang jauh dari lokasi konflik, serta peliknya prosedur keamanan yang perlu dirancang bersama pihak-pihak yang bersengketa,” kata Reza.

Sebelumnya, perundingan perdana Rusia dan Ukraina berlangsung di perbatasan Belarus pada Senin (28/2) sore waktu setempat belum menghasilkan kesepakatan gencatan senjata.

Meski demikian, Rusia dan Ukraina sepakat untuk melanjutkan perundingan kedua.

“Setiap pihak telah menentukan topik dan pemetaan keputusan. Namun, agar keputusan ini dapat diimplementasikan, seluruh pihak setuju untuk kembali berkonsultasi ke ibu kota masing-masing,” kata perwakilan delegasi Ukraina dalam perundingan itu, Mikhaylo Podolyak, kepada wartawan usai dialog berlangsung.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights