JAKARTA- Puisi esai menawarkan medium yang unik untuk menyampaikan isu-isu sosial secara puitis. Isu seperti hak asasi manusia, keadilan, kemiskinan, dan mereka yang terpinggirkan dapat diceritakan dengan cara yang menyentuh hati.
Ketika isu sosial disampaikan melalui sastra, ia menjadi lebih dramatis, lebih hidup, dan lebih menggerakkan. Dibandingkan dengan laporan akademik atau jurnalistik yang cenderung kering, puisi esai menghadirkan karakter, emosi, dan narasi yang lebih mudah diingat.
Demikian dikatakan penggagas puisi esai, Denny JA ketika membuka Festival Puisi Esai Jakarta ke-2, 2024 di PDS HB Jassin, TIM, Jakarta, 13 Desember 2024.
Festival ini dihadiri penulis puisi esai dari Aceh hingga Papua. Hadir pula komunitas puisi esai dari Malaysia, dan kritikus puisi esai dari Jerman.
Dalam sambutannya, Denny JA menyatakan, ia telah merenungkan apakah puisi esai memiliki sesuatu yang berharga untuk disumbangkan kepada dunia sastra dan masyarakat luas.
Jawabannya ia peroleh melalui dialog reflektif, termasuk dengan teknologi seperti Artificial Intelligence.
“Jawabannya menggembirakan: puisi esai memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi tidak hanya kepada sastra, tetapi juga kepada publik dalam tiga hal utama,” ujar Denny.
Denny menyebut tiga keunggulan puisi esai. Pertama, menggabungkan isu sosial dengan puisi.
“Puisi esai menawarkan medium yang unik untuk menyampaikan isu-isu sosial secara puitis. Isu seperti hak asasi manusia, keadilan, kemiskinan, dan mereka yang terpinggirkan dapat diceritakan dengan cara yang menyentuh hati,” ucapnya.
“Ketika isu sosial disampaikan melalui sastra, ia menjadi lebih dramatis, lebih hidup, dan lebih menggerakkan. Dibandingkan dengan laporan akademik atau jurnalistik yang cenderung kering, puisi esai menghadirkan karakter, emosi, dan narasi yang lebih mudah diingat,” sambung Denny.
“Hal ini memberikan dimensi baru dalam cara memahami dan merasakan isu-isu penting di sekitar kita,” katanya.
Keunggulan kedua, kata Denny, adalah kombinasi data dan emosi. Puisi esai menggabungkan data dan emosi dalam satu karya. Data memberi puisi ini dasar yang kokoh, sementara emosi membuat data tersebut hidup dan bernyawa.
“Dalam tradisi sastra, puisi telah lama menjadi wadah ekspresi emosi manusia, seperti yang terlihat sejak Epik of Gilgamesh lima ribu tahun lalu,” tutur Denny.
Namun, Denny menjelaskan, puisi esai menambahkan elemen baru: fakta, catatan kaki, dan kisah nyata. Data ini memperkuat pesan emosional yang terkandung dalam puisi, menjadikannya lebih relevan dan berakar pada realitas.
“Sebaliknya, emosi yang ditambahkan pada data membuat fakta-fakta yang kaku menjadi lebih menggerakkan dan bermakna. Gabungan ini adalah kekuatan unik puisi esai,” ungkapnya.
Keunggulan ketiga, kata Denny, puisi esai menjangkau audiens yang lebih luas.
“Puisi esai memiliki daya tarik yang lebih luas dibandingkan puisi liris tradisional. Bahasanya lebih komunikatif dan mudah dipahami. Narasi dalam puisi esai membuatnya lebih dekat dengan pembaca umum, tidak terbatas pada kalangan elite sastra,” tegasnya.
“Dengan gaya yang lebih naratif, puisi esai membuka ruang bagi semua orang untuk terlibat, termasuk mereka yang bukan penyair. Ini sejalan dengan semangat bahwa puisi esai adalah untuk publik luas, bukan hanya untuk lingkaran kecil pencipta sastra,” lanjut Denny.
“Ketiga keunggulan ini—menggabungkan isu sosial dan puisi, menyatukan data dan emosi, serta menjangkau audiens luas—memberikan keyakinan bahwa puisi esai memiliki potensi besar untuk terus berkembang,” Denny menegaskan.
Puisi esai tidak hanya memperkaya dunia sastra, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
“Dengan semangat ini, mari kita terus bergerak, memperluas komunitas, dan menjadikan puisi esai sebagai medium yang relevan dan bermakna bagi lebih banyak orang,” ujar Denny.
“Ketiga hal yang telah kita bahas sebelumnya memberi kita keyakinan dan dorongan untuk terus bergerak. Puisi esai harus memiliki komunitas yang lebih luas lagi, dan semakin luas dari waktu ke waktu,” pungkasnya.