BALI – Penemuan gua di Banjar Dalem, Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali, diperkirakan sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha dan digunakan untuk bertapa atau mediasi untuk penyucian diri.
“Itu, setidaknya sudah zaman Hindu-Buddha. Gua pertapaan untuk memenangkan diri atau penyucian diri,” kata I Gusti Made Suarbhawa selaku Peneliti Ahli Madya, Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), saat dihubungi Rabu (8/6/2022).
Ia menerangkan, pada tanggal 21 Maret 2022 lalu dari Brin sempat mendatangi lokasi gua. Tapi, belum melakukan penelitian secara kaidah keilmuan dan ilmiah hanya sebatas melakukan observasi.
“Sempat peninjauan awal dan belum melakukan penelitian dalam artian yang betul-betul menggunakan kaidah-kaidah dalam penelitian ilmiah. Tapi, baru sebatas observasi awal, kita belum berani memastikan secara pasti,” terangnya.
Suarbhawa yang merupakan mantan Kepala Balai Arkeologi Bali menyebutkan, bila dilihat dari konteks tempatnya goa itu disekitarnya juga ditemukan tempat-tempat suci seperti penirtaan atau tempat pemandian suci dan juga daerah pertemuan sungai.
“Di sebelahnya ada tempat suci dan juga air penirtaan dan memang goa itu lebih mengarah artifikusial di dalamnya ada semacam ceruk-ceruk lagi. Meskipun, pembuatannya terkesan tidak rapi karena kondisi tanahnya agak rapuh,” sebutnya.
“Ada kemungkinan itu sebagai tempat pertapaan atau meditasi dalam konteks penyucian diri. Karena, secara lokasional itu dekat sungai dan tempat-tempat suci. Ada, pura-pura yang kaitannya dengan penirtaan semacam tempat orang kalau ritual keagamaan itu mencari tempat air suci untuk keperluan upacara di tempat lainnya,” jelasnya.
Selain itu, goa tersebut tak jauh dari sungai yang bisa saja tempat penyucian diri dan goa itu bisa saja sebagai tempat bertapa atau meditasi untuk menenangkan diri.
“Karena dalam konsep Agama Hindu itu (ada) yang setelah melewati tahapan-tahapan brahmacari dan tahapan itu perlu penempaan ilmu. Bisa saja, ketika orang penempaan ilmu atau mendalami kerohanian dengan cara bermeditasi di tempat-tempat seperti itu, memperdalam atau memperkuat rohani,” ungkapnya.
Namun, sejak kapan goa itu berdiri pihaknya belum berani memastikan karena belum dilakukan penelitian secara mendalam. Selain itu, belum ditemukan adanya penemuan bekas aktivitas di gua tersebut. Kendati, demikian dari petunjuk goa itu sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha.
“Kalau, dari konteksnya kita belum berani memastikan karena belum melihat temuan-temuan permukaan atau temuan di sekitarnya. Karena lantai goa yang biasanya menyimpan bekas-bekas aktivitas itu ter-uruk akibat erosi ataupun masuknya lumpur-lumpur tertentu,” ujarnya.
“Sehingga, dasar goanya itu tidak kelihatan karena sudah ter-uruk. Mungkin dulu, dialiri air dan lumpur dari lubang tertentu sehingga dasar goanya yang kita harapkan dari sana menemukan petunjuk atau indikator aktifitas mengarah kepada umur. Tapi, setidaknya itu sudah zaman Hindu-Buddha,” ujarnya.
Sementara, terkait bahwa goa itu direncanakan menjadi cagar budaya menurutnya hal itu adalah ranah dari Pemerintah Kabupaten Tabanan dalam hal ini Dinas Kebudayaan.
“Kalau kami dari para peneliti sebatas mencari informasi dalam artian data ilmiahnya berkenaan gua kapan (berdiri), fungsinya apa dan sebagainya. Tapi, sekali lagi baru sebatas kunjungan awal, belum ada tindak lanjut untuk penelitian mendalam baru sebatas observasi berapa ukuran gua dan sebagainya, itu saja,” jelasnya.
Menurutnya, untuk kedepannya terkait penelitian gua tersebut tergantung dari pihak Pemda Kabupaten Tabanan, karena hal itu seusai dengan Undang-undang budaya dan yang mempunyai kewenangan tindak lanjut tentu pihak Pemkab Tabanan.
“Dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan masyarakat selaku pemilik karena sekarang pemerintah itu sebatas regulator yang mempunyai itu bagaimana berbasis masyarakat,” ujarnya.
Ia juga berharap, dengan adanya penemuan goa itu adalah salah satu peninggalan yang langka dan disekitarnya didukung beberapa tempat-tempat suci.
“Tentu di sini perlu untuk mengungkap lebih lanjut dan yang terpenting bagaimana melestarikan bangunan itu dan pemantapannya sesuai kebutuhan masyarakat dan juga peluangnya seperti apa. Itu gua bagian dari tempat suci karena gua tidak berdiri sendiri,” kata dia.
“Konteksnya di sebelahnya ada bangunan-bangunan suci sekarang. Bangunan Pura Penirtaan karena ada keberadaan sumber mata air dan banyak di sekitarnya. Itu daerah pertemuan sungai dan daerah-daerah yang dianggap suci. Ada vibrasi positif di daerah pertemuan sungai,” ujarnya.
Seperti yang diberitakan, penemuan goa di Banjar Dalem, Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali, akan dijadikan Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dan Balai Arkeologi (Balar) Provinsi Bali.
“Sementara ada kesimpulan dari Balar dan BPCB, goa yang ada di dalam Banjar Dalem, Desa Pejaten itu, diindikasikan sebagai obyek diduga cagar budaya,” kata I Wayan Sugatra selaku Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan, Bali, saat dihubungi Selasa (7/6/2022).
Gua tersebut, ditemukan di pekarangan rumah warga bernama I Ketut Nada pada Bulan Maret 2022 lalu. Saat itu, rencananya akan membangun kamar mandi dan saat melakukan penataan ada tanah yang amblas dan ditemukan lubang di bawah tanah dan ada empat relung atau ceruk.
Sementara, goa tersebut diperkirakan memiliki jalur memanjang ke arah selatan sepanjang 10 meter dan di dalamnya untuk ceruk pertama di sisi utara dengan ketinggian 1,2 meter dan lebar 1,4 meter. Ceruk kedua di sebelah timur dengan ukuran 1,3 meter dan lebar 1,2 meter.
Kemudian, ceruk ketiga bersebelahan dengan ceruk kedua dengan tinggi 1,1 meter dan lebar 1,1 meter. Sedangkan ceruk keempat di sebelah ceruk ketiga dengan ukuran 1,2 meter dan lebar 1,9 meter
“Kemarin, untuk goa memang itu ditemukan masyarakat kami. Karena dia, melakukan penataan lahan tiba-tiba tanah amblas ternyata itu sebuah goa. Atas penemuan itu, masyarakat sudah berkoordinasi kepada kami dan sudah ditindaklanjuti kepada BPCB dan Balar, dan sudah melalukan penelitian awal terkait dengan lokus dari goa itu,” ujarnya.
“Jadi, sesuai dengan Undang-undang nomor 11, tahun 2010, itu tentang cagar budaya, perlakuannya adalah terhadap ODCB itu sama dengan cagar budaya lainnya,” lanjutnya.
Namun, untuk mengetahui tentang kisah atau sejarah goa tersebut. Pihaknya, masih menunggu penelitian dari BPCB dan Balar Bali. Namun, dari petunjuk yang ada gua itu bukan tercipta alamiah tapi buatan manusia.
“Kami sementara akan menunggu hasil-hasil penelitian lebih lanjut dari balai-balai terkait. Sehingga nanti, kami bisa menentukan langkah-langkah selanjutnya yang bisa untuk pelestarian dan pengamanan dari pada gua tersebut,” ujarnya.
“Karena, diindikasikan goa itu bukan goa alamiah tetapi gua buatan manusia. Karena, ada guratan dan garis yang ada di dalam goa itu, diindikasikan bukan gua alamiah tetapi buatan manusia,” jelasnya.
Sementara, dari perkiraan yang ada goa itu diduga peninggalan saat penjajahan Jepang. Tetapi, pihaknya masih menunggu hasil penelitian yang sudah dilakukan.
“Dari prediksi teman-teman Balar dan BPCB itu, belum berani memberikan justifikasi peninggalan siapa. Tetapi, diindikasikan itu peninggalan di zaman Jepang karena di sekitar itu ada banyak beberapa situs-situs lagi yang ini mungkin perlu digali dan dieksplor lebih intensif lagi,” ungkapnya.
“Sehingga, nanti betul-betul koneksitas antara gua ini dengan situs-situs lain yang di seputaran itu, bisa disimpulkan sebagai sebuah kawasan yang saling berkaitan.
Jadi, kami masih menunggu tim-tim dari Balar dan BPCB untuk melakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut,” ujarnya.
Kendati demikian, menurutnya penemuan goa tersebut untuk sementara dinyatakan sebagai ODCB oleh Balar dan BPCB dan selanjutnya dilakukan Registrasi Nasional (Regnas) agar ditetapkan menjadi cagar budaya.
“Karena itu, sudah dinyatakan oleh BPCB selaku ODCB kami perlakukan sebagai cagar budaya dan kami akan melakukan regnas terkait goa tersebut. Kami, sudah menyampaikan kepada pemilik lahan untuk sementara menjaga dulu goa itu, agar tidak terjadi kerusakan sehingga nanti menghilangkan data-data sejarah yang bermanfaat bagi pendidikan dan penelitian lebih lanjut,” ujarnya.
“Jadi, kalau memang ada aset-aset atau situs dan kawasan bangunan struktur, iya kita harus lestarikan. Jangan, menghilangkan data sejarahnya dan nanti harapan kita bisa bermanfaat bagi masyarakat dan generasi muda untuk kepentingan penelitian dan pendidikan,” ujarnya.