Upaya Ipung untuk mengambil tanah yang merupakan haknya kembali gagal karena ke 36 KK itu mengatakan akan melakukan PK.
Kalau nanti pada saat PK kalah, mereka mengaku akan membongkar sendiri bangunan tersebut.
“Ternyata bukan hanya PK, mereka juga melakukan perlawanan terhadap eksekusi, dan juga gugatan yang dilakukan oleh Cokorda langsung. Akhirnya 2015 saya meladeni dua gugatan di Pengadilan Negeri Denpasar,” kata Ipung.
Di tengah mengurusi persoalan tanah miliknya, terjadi kasus pembunuhan terhadap bocah perempuan bernama Angeline. Sehingga Ipung memilih fokus menangani kasus Angeline.
Rupanya hal itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan munculah SK MLH tahun 2015, di mana dalam SK disebutkan jika tanah tersebut merupakan tanah milik mereka.
“Ketika selama dua tahun saya disibukkan dengan kasus Angeline, ternyata 2016 ada pelepasan lahan untuk dijadikan jalan. Saya yakin sekali orang yang hadir tanda tangan 2016 untuk melepas hak saya, adalah orang-orang yang memang berlawanan dengan saya,” ujarnya.
Ia lantas menyebut jika orang yang mengetahui saat penanda tanganan berita acara pelepasan hak untuk jalan kepada BTID salah satunya adalah Jero Bendesa Serangan yang saat ini masih menjabat.
“Pertanyaan saya sekarang adalah, kenapa bisa Jero Bendesa atau pihak-pihak di sana bersedia menandatangani berita acara tanpa mau melihat itu tanah siapa,” ucapnya.
“Kedua, harusnya kalau ada pelepasan lahan untuk jalan atau fasilitas-fasilitas umum lain nya, para pihak akan dipanggil. Apa mereka ini anggap saya orang bodoh, tiba-tiba tanah saya dicaplok oleh beberapa orang atau kelompok dengan mengatakan itu tanah dia,” sambungnya.
Ipung lalu meminta kepada siapa saja yang saat itu hadir saat penandatangan pelepasan hak untuk bertanggungjawab. Jika tidak, ia akan mengambil tindakan dengan menutup jalan yang dibangun di atas tanah miliknya.