Penulis Senior Eka Budianta Sebut Peluang Menjadi Sastrawan Kini Semakin Terbuka

  • Bagikan

JAKARTA – Selama pengamatan lebih dari 50 tahun terakhir, sejak 1972 peluang menjadi sastrawan kini semakin terbuka. Hal itu diungkapkan penyair dan penulis senior Eka Budianta, dalam bahan tertulis untuk diskusi Kamis malam, 20 Juni 2024.

Eka Budianta jadi narasumber dalam diskusi daring Hati Pena di Jakarta, yang diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA yang diketuai Denny JA. Diskusi daring itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani.

Dalam diskusi bertema Sastra, Demokrasi, Lingkungan itu, Eka Budianta memaparkan, dulu ada lembaga penerbitan yang menyeleksi naskah para calon pengarang. Sekarang, dengan bebas kita dapat mempublikasi apa saja.

“Baik karya sendiri maupun karya orang lain, bahkan karya artifisial yang dibuat oleh mesin dengan istilah AI, artificial intelligence. Dengan AI kita bisa menulis cerpen, esai, puisi, novel, bahkan lagu dengan komposisi musik dan liriknya,” jelas Eka.

BACA JUGA :  Kolaborasi Media dan Pemerintah, Langkah Nyata Pokja PWI Jakarta Barat dengan Sudin Kesehatan

Artinya, tutur Eka, penyusunan karya tulis kini menjadi sebebas-bebasnya. Tanpa seleksi, tanpa penilaian dewan redaksi, dan bahkan tanpa komentator atau kritik yang memadai.

“Etika dan estetika baik dalam kalimat maupun pengertiannya menjadi sangat longgar. Yang penting menarik dan berguna. Bisa menjadi hiburan, bisa memberi inspirasi, semangat hidup dan melanjutkan perjuangan,” ungkapnya.

“Pada masa yang serba bebas tanpa batas ini, kita boleh bertanya apa gunanya menjadi penulis, sastrawan, komponis dan semua yang terkait dengan pemikiran,” lanjut Eka.

Menurut Eka, beruntung bila masih ada penghargaan untuk mengenang zaman yang lampau. Sejarah kesusasteraan Indonesia memang dipenuhi dengan inovasi dan “pemberontakan”.

“Pada masa silam, para pujangga adalah staf atau karyawan kerajaan. Tugasnya mengharumkan nama para raja, membuat mitos, legenda dan kisah-kisah heroisme,” ucap Eka.

BACA JUGA :  Cegah Macet di Hari Buruh, Berikut Daftar 16 KA Keberangkatan Stasiun Gambir Berhenti di Jatinegara

Ditambahkannya, pada dasawarsa 1920-an, muncul novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar sebagai karya sastra modern Indonesia yang pertama. “Ternyata bukan hanya puja-puji tentang kehidupan di istana, rakyat jelata juga boleh menulis dan mendapat bacaan tentang nasib sendiri,” sambungnya.

Eka mengaku bersyukur pernah bertemu dan berbicara dengan kritikus sastra HB Jassin. “Almarhum memberikan landasan bahwa karya sastra perlu memiliki etika. Karya sastra juga diharapkan menawarkan cita-cita luhur kepada masyarakat,” tegasnya.

“Singkatnya, setiap puisi harus berguna. Bisa sebagai kritik pada penguasa, seperti yang ditulis Rendra. Bisa juga sebagai hiburan dan nasihat, seperti yang ditulis oleh Joko Pinurbo,” kata Eka.

Dalam kenyataannya, kata Eka, masyarakat memerlukan banyak kesadaran. Mulai dari sadar gender, sadar sejarah, sadar ekonomi, sadar hukum, dan sadar nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama.

BACA JUGA :  Protes Wacana Jalan Berbayar di Jakarta, Serikat Buruh: Pengguna Jalan Seperti 'Dipalak'

“Saya percaya bahwa munculnya kebebasan yang baru, selalu diikuti tuntunan hidup yang baru,” imbuhnya.

Penulis: DanangEditor: Renoto Sirengga
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Verified by MonsterInsights