PADANG – Kebebasan memublikasikan karya sastra tersebab kehadiran internet dan media sosial melahirkan banyak harapan, di samping juga kekhawatiran. Hal itu dikatakan Prof Dr Harris Effendi Thahar, M.Pd., Guru Besar Universitas Negeri Padang di bidang pendidikan sastra.
Harris Effendi Thahar mengungkapkan hal itu di acara seminar IMLF (International Minangkabau Literacy Festival), yang berlangsung pada 22-27 Februari 2023. Acara ini berpusat di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Dalam Negeri Regional Bukittinggi di Baso, Kabupaten Agam.
Harris Effendi Tahar memaparkan, harapannya adalah akibat ada kebebasan memilih jalur penerbitan karya, semakin terbuka dan semakin banyak lahir karya sastra di dunia, dan tentu juga di Indonesia.
Sementara soal mutu karya, muncul kekhawatiran dari sebagian orang. Sebab karya yang muncul di media sosial bisa hadir begitu saja, tidak melalui seleksi kekuasaan redaksi, yang di media cetak (buku, majalah, koran) biasanya cukup ketat.
“Tentang kekhawatiran ini, diharapkan dapat pula melahirkan kritikus-kritikus sastra baru, terutama di kalangan akademisi, untuk memperkaya kajian kesastraan Indonesia,” lanjutnya.
Menurut Harris, mungkin pengaruh negatif dapat timbul jika pengguna bahasa Indonesia tulis di media sosial –yang banyak dilihat/dibaca netizen– adalah bahasa Indonesia yang tidak memedulikan ejaan dan struktur kalimat yang benar.
“Hal itu menjadi negatif karena dikhawatirkan akan ditiru oleh generasi muda, yang baru belajar berbahasa tulis,” ujar Harris.
Harris mengungkapkan, di media sosial telah lahir istilah-istilah baru yang bukan berasal dari bahasa Indonesia, seperti cuan, prank, kepo, dan sebagainya.
“Belum lagi istilah-istilah bahasa Inggris untuk teknologi informasi. Meski sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, toh banyak orang yang tidak suka menggunakannya,” sambung Harris.