JAYAPURA- Gubernur Papua Lukas Enembe yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap dicintai rakyatnya. Hal tersebut terlihat saat Dewan Adat Papua (DAP) mengukuhkan Lukas Enembe sebagai kepala suku besar bangsa Papua. Pengukuhan ini berlangsung di kediaman pribadi Lukas Enembe, Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua, Ahad (9/10/2022).
Ketua Dewan Adat Papua Dominikus Sorabut mengatakan, pengukukan ini merupakan proses organisatoris DAP yang telah menggelar pleno resmi ke-11 di Jayapura. Selain itu juga berdasarkan pandangan seluruh pimpinan tujuh wilayah adat di Tanah Papua.
Menurut Dominikus, dalam pembahasan dewan adat tidak melihat kapasitas Lukas Enembe sebagai Gubernur Papua, tetapi atas sepak terjangnya mengabdi sejak di pemerintahan terendah hingga menjadi gubernur.
“Kami tidak disogok siapa-siapa, tetapi terpanggil nurani untuk Ibu Pertiwi, sehingga kami datang dan memutuskan layak seorang Lukas Enembe dijadikan sebagai pemimpin besar tanah dan bangsa Papua atau kepala suku besar tanah dan bangsa Papua,” ujar Dominikus, Sabtu (9/10/2022).
Pengukuhan tersebut dilakukan dalam mekanisme pleno Dewan Adat Papua yang telah diputuskan dan mengikat secara alam.
“Kami tidak datang sendirian, proses itu kami sudah lakukan secara adat hingga memberikan mahkota sebagai pemimpin besar Papua,” katanya.
Menurutnya, sepak terjang Lukas Enembe ketika mengabdi mulai dari pemerintah terendah sejak masih bertugas di Merauke, Wakil Bupati Puncak, Bupati Puncak, lalu Gubernur cukup untuk dia mengabdi kepada bangsa dan negara.
“Pengabdian itu tidak bisa diragukan. Beliau betul-betul membuktikan bagaimana mencerdaskan anak bangsa, merekatkan pembangunan ke masyarakat adat, membuka isolasi daerah-daerah terjauh, mendekatkan pembangunan,” ucapnya.
Terlebih dari sisi pendidikan, Lukas Enembe selama dalam sejarah bisa keluarkan anak-anak Papua yang punya potensi berstudi ke luar negeri.
Namun, apa yang dibuat gubernur selama ini tidak dilihat sebagai tindakan positif. Semuanya dianggap dalam konteks negatif, dan narasinya mendiskriminasi.
“Bicara soal korupsi itu normatif, tetapi dalam hidup ini ada hukum juga indikator-indikator bagaimana seseorang itu betul dijadikan tersangka. Tetapi kemudian soal gratifikasi atau menerima mahar dari uang Rp1 miliar kemudian persoalan ini menjadi bola salju, lalu mendalilkan uang Rp560 miliar hingga Rp1000 Triliun dan lain-lain,” ucapnya.(*)