Levitsky dan Ziblatt juga mengingatkan sejumlah ciri diktator. Salah satunya adalah menolak aturan main demokrasi, baik melalui kata-kata maupun perbuatan.
“Banyak upaya pemerintah membajak demokrasi itu legal, dalam arti disetujui lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif. Bisa jadi upaya-upaya itu bahkan digambarkan sebagai upaya memperbaiki demokrasi–membuat pengadilan lebih efisien, memerangi korupsi, atau membersihkan proses pemilu,” tulis Levitsky dan Ziblatt pada buku tersebut.
Saya tentu berharap Jokowi tak memenuhi kriteria itu.
Jokowi harus sadar penundaan Pemilu 2024 bagai mengencingi reformasi dan konstitusi. Jangankan mendukung, membiarkan gagasan itu berkembang di publik saja adalah hal yang haram dalam alam demokrasi.
Jokowi perlu ingat pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyebut presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sementara itu, pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang merupakan hasil reformasi, jelas-jelas menyatakan pemilu digelar 5 tahun sekali.
Saya begitu berharap Jokowi tampil di publik, kemudian tegas menolak penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan, penambahan periode, atau berbagai tindakan merusak demokrasi lainnya.
Tak cukup sekadar mengatakan menghormati konstitusi. Apalagi dengan ceroboh menyebut usulan penundaan Pemilu 2024 bagian dari demokrasi. Demokrasi macam apa yang menabrak konstitusi, Pak Jokowi?
Momen Kejatuhan Soeharto dan Wacana Presiden 3 Periode
