Yang paling menyakitkan bagi Soeharto mungkin adalah sikap anak emasnya, Harmoko. Pria yang membujuknya mencalonkan diri menjadi sosok yang paling keras memintanya turun dari jabatan.
“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” ucap Harmoko pada jumpa pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, 18 Mei 1998.
Situasi politik belakangan ini mengingatkan saya pada momen kelengseran Soeharto itu.
Usulan tiga ketua umum partai politik kepada Jokowi untuk menunda Pemilu 2024, menurut saya, mirip dengan manuver Harmoko di akhir 1997 hingga awal 1998.
Rayuan yang dipakai pun sama: klaim bahwa rakyat menginginkan presiden melanjutkan pemerintahannya. Padahal, tidak sedikit kelompok yang menentang gagasan tersebut.
Posisi Jokowi pun mirip-mirip dengan Soeharto. Saat ini, sebanyak 82 persen kursi DPR dikuasai partai-partai pendukung Jokowi. Pada 1997, Soeharto menguasai 80 persen parlemen lewat Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI.
Selanjutnya Memori Aksi Harmoko…